PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM
Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam Di Sekolah
“ PENCIPTAAN SUASANA RELIGIUS DI SEKOLAH”
Prof.
Dr. H. Muhaimin, MA
PENDEKATAN DALAM
PENGKAJIAN PENDIDIKAN ISLAM
Dosen Pembimbing
Dr. H. SYAMSUN NI’AM, M.Ag
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sebagai sebuah proses yang berlangsung secara cepat dan dinamis, pendidikan Islam termasuk yang paling banyak menghadapi
problematika. Berbagai aspek yang terkait dengan kegiatan pendidikan Islam,
mulai dari dasar dan landasan pendidikan, kurikulum, metodologi pembelajaran,
tenaga pendidik dan lainnya, yang secara keseluruhan mengandung permasalahan
yang hingga kini belum ada penyelesaian.Kita seringkali merasa heran, mengapa
prilaku para remaja atau bahkan tingkah laku tokoh elit politik,
birokrasi pemerintahan ini memprihatinkan dan menjengkelkan. Adakah yang salah
dalam transformasi nilai dalam system pendidikan kita selama ini?
Fenomena anak yang dididik di madrasah memiliki prilaku yang sama
dengan di sekolah umum, seperti tidak menjalankan shalat lima waktu secara
lengkap, tidak berpuasa, kasus narkoba dan masih banyak lainnya.
Pendidikan diartikan hanya sebagai transformasi ilmu pengetahuan
dan transformasi ilmu agama, kedua model
metode pengajaran tersebut merupakan cara pembelajaran pada kebanyakan pendidikan
kita. Akhirnya bukan tidak mungkin nantinya pendidikan kita akan menghasilkan
orang-orang yang pandai dalam berteori tapi miskin moral, serta kurang cerdas
dalam mengembangkan teori dan ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan dibangku
sekolah.
Akibatnya siswa-siswi semakin jauh dari nilai-nilai agama yang
diajarkan di sekolah, karena siswa-siswi hanya difungsikan sebagai keranjang
ilmu pengetahuan oleh pendidiknya.Kekurangtepatan metode ini perlu diperbaiki,
agar ilmu pengetahuan khususnya ilmu moralitas dan etika dapat terinternalisasi
dalam diri siswa dan siswa tergerak untuk mangaplikasikan nilai-nilai ilmu tersebut.
B.
Biografi
Singkat Tokoh
Prof. Dr. H.
Muhaimin, M.A. dilahirkan di Lumajang, 11 Desember 1956, dosen tetap sekaligus
Guru Besar bidang Ilmu Pendidikan Agama di UIN Malang, ia adalah putra pasangan
H. Soelchan (alm) dan Hj. Chotimah (alm.). Berturut-turut ia menempuh
pendidikan di MI Lumajang (1969), PGAN 4 Tahun (1973), PGAN 6 Tahun Lumajang
(1975), Sarjana muda Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel di Malang
(1979) dan Sarjana Lengkap padaIAIN Sunan Ampel fakultas Tarbiyah Malang
(1982), S2 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1989), dan S3 di IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.Ia telah meniti kariernya sejak dari bawah, yaitu mulai dari menjadi
Pegawai Harian Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel di Malang (1982-1984), Kasi
Pengajaran pada Fakultas yang sama (1985-1987), kemudian diangkat menjadi dosen
tetap padaFakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel di Malang/STAIN Malang (sejak
1985), dan menjadi Guru Besar pada UIN Malang (2003 s.d. sekarang). Pada 1996
ia diangkat sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel di
Malang, pada 1998-2005 ia diangkat sebagai Pembantu Rektor I (Bidang Akademik)
pada UIN Malang, dan menjadi Pembantu Rektor II pada institusi yang sama hingga
tahun 2007. Sejak 2009 hingga sekarang, ia menjadi Direktur Program
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Dengan keahliannya di bidang
Ilmu Pendidikan Agama, ia diminta bantuannya untuk mengajar di beberapa Program
Pascasarjana (S2 dan S3) terutama pada UIN Malang, STAIN, IAIN, dan PTAIS di
wilayah Jawa Timur, serta menjadi
External Examiner disertasi Ph.D pada University Kuala Lumpur Malaysia, dan
salah satu tim penilai kenaikan jabatan ke Guru Besar Madya pada Universiti
Sains Islam Malaysia.
Ia aktif menulis
buku, melakukan penelitian, nara sumber di berbagai seminar (lokal, nasional,
dan Internasional) dan workshop, serta kegiatan pelatihan, dan menulis artikel
di beberapa majalah dan surat kabar.Disamping itu, ia juga menulis buku-buku
diktat kuliah yang dipublikasikan dikalangan mahasiswa.
BAB
II
PEMBAHASAN
(PENCIPTAAN
SUASANA RELIGIUS DI SEKOLAH)
A.
Suasana
Religius di Sekolah
Pada
dasarnya, manusia dilahirkan dalam keadaan suci.Kesucian manusia itu biasanya
dikenal dengan istilah “fitrah”.Fitrah tersebut menjadikan diri manusia
memiliki sifat dasar kesucian, yang kemudian harus dinyatakan dalam sikap-sikap
yang suci pula kepada sesamanya. Fitrah yang dimiliki manusia merupakan
kelanjutan dari perjanjian antara manusia dengan tuhan, yaitu suatu perjanjian
sebelum ia lahir kedunia dengan tuhan. Dalam perjanjian tersebut manusia telah
menyatakan bahwa ia akan mengakui tuhan sebagai pelindung dan pemelihara (Rabb)
satu-satunya bagi dirinya. Hal ini tercermin dalam dialog antara Tuhan dengan
ruh manusia sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, surat Al-A’raf ayat 172.
“…bukankah aku ini Tuhanmu? Kemudian ruh manusia itu menjawab: benar, kami
telah menyaksikan”.
Berdasarkan
Al-Qur’an dan Al-Hadits, dalam diri manusia terdapat berbagai macam fitrah yang
antara lain adalah fitrah agama, fitrah
suci, fitrah berakhlak ,fitrah kebenaran dan fitrah kasih sayang.
1. Fitrah Agama
Dalam
Al-qur’an surat Al-A’raf:172 dinyatakan bahwa fitrah beragama manusia sudah
tertanam kedalam jiwa manusia semenjak dari alam arwah terdahulu, yaitu sewaktu
ruh manusia belum ditiupkan oleh Allah kedalam jasmaninya. Dengan demikian,
fitrah agama yang ada dalam diri manusia itu ialah fitrah beragama islam. Hal
ini didasarkan pada beberapa dalil sebagai berikut.a). Nabi Muhammad SAW
menyatakan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan beragama Islam, Sabda
beliau: “ tidaklah dilahirkan seorang anak, melainkan atas agama ini (islam)
hingga menjelaskan akan lidahnya”. (HR. Muslim). b). Agama yang diakui oleh
Allah ialah agama Islam, sebagaimana firman-Nya ;” sesungguhnya agama disisi
Allah ialah agama Islam.” (QS. Ali Imran:19). c). Semua Nabi/Rasul Allah adalah
beragama Islam. d). Allah menyatakan bahwa orang-orang yang tidak beragama
Islam adalah seburuk-buruk makhluk melata dibumi ini, sebagimana firman-Nya
dalam QS. Al-anfal : 55, e). para sarjana
telah membuktikan bahwa agama yang benar hanyalah agama Islam. seperti hasil
studi yang dilakukan oleh Dr. Maurice Bucaille; setelah meneliti selama 20
tahun, kemudian ia mengatakan.” Agama Yahudi
dan Kristen itu adalah tidak asli lagi, sejarahnya tidak terang dan banyak
pernyataan yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan.Sedangkan agama Islam
masih asli, sejarahnya terang.
2.
Fitrah
Berakhlak
Ajaran
Islam menyatakan secara tegas sekali bahwa Nabi Muhammad SAW diutus kepada
manusia adalah untuk menyempurnakan moral/akhlak manusia. Sebagaimana sabdanya
: “ Aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak (moral) yang baik/mulia.”
(HR. Bukhori, Hakim dan Baihaqi). Hadits tersebut memberi pengertian bahwa pada
mulanya manusia sudah mempunyai fitrah bermoral/berakhlak, sedangkan Nabi
diutus hanya untuk menyempurnakan atau mengembangkannya..menurut Prof. Dr. N.
Drijarkara S.J bahwa “moral adalah tuntutan kodrati manusia”.
3.
Fitrah
Kebenaran
Didalam
Al-Qur’an, Allah menyatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui kebenaran,
sebagaimana firman-Nya yang artinya,” maka adapun orang-orang yang beriman,
mereka mengetahui bahwa itu benar-benar dari tuhan mereka” (QS. Al-Baqarah:26).
Ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mencari dan
mempraktikkan kebenaran. Menurut Endang Saifuddin Anshari: “ manusia
adalah makhluk berfikir, berfikir adalah bertanya, bertanya adalah mencari
jawaban, mencari jawaban adalah mencari kebenaran. Mencari jawaban tentang
Tuhan, alam, dan manusia.Jadi pada akhirnya, manusia adalah makhluk pencari
kebenaran.”
4.
Fitrah
Kasih Sayang
Menurut
Al-Qur’an, dalam diri manusia telah diberi Allah fitrah kasih sayang, hal ini
sebagaimana firman-Nya:” dan Dia jadikan diantara kamu percintaan dan kasih sayang”
(QS. Ar-Rum:21). Berdasarkan ayat tersebut maka dapat dikatakan bahwa manusia
sudah diberi fitrah kasih sayang oleh Allah SWT dan manusia memang ingin
mengasihi dan dikasihi.
B. Suasana Religius dan/atau Agamis
Religiusitas
(kata sifat: religius) tidak identik dengan agama. Mestinya orang yang
beragama itu adalah sekaligus orang yang religius juga.Namun banyak
terjadi, orang penganut suatu agama yang gigih tetapi dengan bermotivasi dagang
atau peningkatan karier. Ada hal lain lagi yang perlu diakui, secara lahiriah ia
tidak begitu cermat menaati ajaran-ajaran agamanya, bahkan boleh jadi oleh
teman-temannya dia dicap komunis/ateis/kafir. Namun tidak mustahil orang yang
dicap demikian ternyata memiliki rasa keadilan yang mendalam.Ia cinta pada yang
benar dan benci pada segala kebohongan serta kemunafikan. Ia boleh jadi bukan
orang yang sempurna atau teladan, akan tetapi toh terasa dan jujur harus diakui
bahwa ia manusia yang baik dan mempunyai antena yang religius.
Keberagamaan
atau religiusitas lebih melihat aspek yang “didalam lubuk hati nurani”
pribadi, sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena
menapaskan intimitas jiwa. Dan karena
itu, pada dasarnya religiusitas mengatasi atau lebih dalam dari agama
yang tampak formal, resmi.
Ada
tiga tahapan yang perlu dilakukan oleh seseorang untuk meningkatkan kualitas
jiwanya. Pertama, melakukan dzikir atau ta’alluq pada tuhan,
yaitu seseorang harus berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran hati dan
pikiran kita kepada Allah.Dimanapun seorang mukmin berada, dia tidak boleh
lepas dari berfikir dan berdzikir untuk Tuhan-Nya (QS. 3:191).Kedua,
Takholluq, yaitu seseorang secara sadar meniru sifat-sifat Tuhan sehingga
seorang mukmin memiliki sifat-sifat mulia sebagaimana sifat-Nya. Proses ini
bisa juga disebut sebagai proses internalisasi sifat Tuhan kedalam diri
manusia. Sesuai hadits nabi yang berbunyi, “takhallaqu bi akhlaqi–Allah”. Ketiga,
Tahaqquq yaitu seseorang harus bisa mengaktualisasikan kesadaran dan
kapasitas dirinya sebagai seorang mukmin atau agamis yang dirinya sudah di “dominasi”
sifat-sifat tuhan sehingga tercermin dalam prilakunya yang serba suci dan
mulia.
C. Urgensi penciptaan Suasana Religius di
Sekolah
Berbicara
tentang suasana religius merupakan bagian dari kehidupan religius
yang tampak dan untuk mendekati pemahaman kita tentang hal tersebut, terlebih
dahulu perlu dijelaskan tentang konsep religiusitas.
Glock
& Stark (1996) dalam Ancok (1995:76) menjelaskan bahwa agama adalah system
symbol, system keyakinan, system nilai dan system prilaku yang terlembagakan,
yang kesemuanya itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai
yang paling maknawi. Menurut Glock dan stark dalam Rertson(1998), ada lima
macam dimensi keberagamaan, yaitu :
1. Dimensi
Keyakinan, berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius
berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin
tersebut.
2. Dimensi
Praktik Agama, mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan
orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktik-praktik
keagamaan ini terbagi atas dua kelas penting, yaitu Ritual dan ketaatan.
3. Dimensi
Pengalaman, dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama
mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan
bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai
pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir bahwa ia akan
mencapai suatu kontak dengan kekuatan supranatural.
4. Dimensi
Pengetahuan Agama, mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama
paling tidak meiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar
keyakinan, kitab suci dan tradisi-tradisi.
5. Dimensi
Pengamalan atau konsekuensi, mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan,
praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.
Dalam kaitannya dengan upaya penciptaan
suasana religius tersebut, berikut ini dikemukakan beberapa hasil
penelitian antara lain Muhaimin, Suti’ah dan Nur Ali (1998), tentang penciptaan
suasana religius pada sekolah-sekolah menengah umum di Kodya Malang.
Para peneliti menemukan beberapa temuan: antara lain bahwa penciptaan suasana religius di
sekolah umum di Kodya Malang dimulai dengan mengadakan berbagai kegiatan
keagamaan yang pelaksanaannya dilaksanakan di lingkungan sekolah. Kegiatan
keagamaan seperti khatmil Al-Qur’an dan istighatsah yang ditemukan dalam
penelitian Muhaimin, dkk, (1998) tersebut dapat menciptakan suasana ketenangan
dan kedamaian di kalangan civitas akademika sekolah.Berdasarkan pada temuan
ini, maka dapat dikatakan bahwa kegiatan keagamaan di sekolah umum dimulai
dengan adanya peristiwa dan cerita-cerita yang unik dan adanya ketenangan
batin.Kegiatan tersebut juga dapat menciptakan suasana ketenangan, kedamaian,
persaudaraan, persatuan serta silaturrahmi antar sesama pimpinan, para guru,
karyawan dan para siswa.
Menurut Muhaimin, Abd. Ghofir dan Nur
Ali (1996, hlm. 148) bahwa dalam pembelajaran agama perlu digunakan beberapa
pendekatan, antara lain: (i) pendekatan pengalaman, yakni memberikan pengalaman
keagamaan kepada peserta didik dalam rangka penanaman nilai-nilai keagamaan;
(ii) pendekatan pembiasaan, yakni memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
senantiasa mengamalkan ajaran agamanya dan atau akhlak mulia. Dari sini dapat
dikatakan bahwa strategi penanaman nilai-nilai agama pada siswa oleh para
guru dilakukan dengan cara mengadakan
suatu pendekatan secara langsung, yaitu pengalaman dan pembiasaan melakukan
khatmi Al-Qur’an, istighatsah, salat berjema’ah dan kegiatan-kegiatan keagamaan
lainnya secara terprogram dan rutin pada waktu-waktu yang telah
ditentukan.
D.
Model-model
Penciptaan Suasana Religius di
Sekolah
Model adalah sesuatu yang dianggap
benar, tetapi bersifat kondisional. Karena itu, model penciptaan suasana religius
sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tempat model itu akan diterapkan
beserta penerapan nilai-nilai yang mendasarinya. Ada beberapa macam model-model
penciptaan suasana religius, antara lain: (1). Model Struktural, yaitu
penciptaan suasana religius yang disemangati oleh adanya
peraturan-peraturan, pembangunan kesan, baik dari dunia luar atas kepemimpinan
atau kebijakan suatu lembaga pendidikan
atau suatu organisasi. Model ini bersifat “top-down” yakni kegiatan dibuat atas
prakarsa atau intruksi dari pejabat/pimpinan atasan. (2). Model Formal, yaitu
penciptaan suasana religius yang di dasari atas pemahaman bahwa
pendidikan agama adalah upaya manusia untuk mengajarkan masalah-masalah
kehidupan akhirat saja atau kehidupan
rohani saja. Peserta didik diarahkan untuk menjadi pelaku agama yang loyal,
memiliki sikap comitment (keperpihakan) dan dedikasi (pengabdian yang tinggi
terhadap agama yang dipelajarinya).Sementara itu, kajian-kajian keilmuan yang
bersifat empiris, rasional, analitis-kritis, dianggap dapat menggoyahkan iman
sehingga perlu ditindih oleh pendekatan keagamaan yang bersifat normative dan
doktriner. (3). Model mekanik, penciptaan suasana religious yang didasari oleh
pemahaman bahwa kehidupan terdiri dari berbagai aspek; dan pendidikan dipandang
sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan
berjalan menurut fungsinya.
E.
Kritik,
Apresiasi dan Komentar
1. Buku
Paradigma Pendidikan Islam karya Prof. Dr. H Muhaimin, M.A. merupakan kumpulan
tulisan beliau, tidak fokus membahas satu persoalan atau satu temasaja .
2. Pada
buku ini belum menyinggung produktivitas dan target sekolah, seperti apa yang
disampaikan oleh Qomar (2007: 298) dalam buku Manajemen Pendidikan Islam bahwa
criteria keberhasilan manajemen pendidikan Islam adalah produktivitas
pendidikan yang dapat diukur dari sudut efektifitas dan efisiensi pendidikan.
3. Kehadiran
buku ini, mencoba memberikan gambaran tentang permasalahan-permasalahan yang
terjadi dalam dunia pendidikan Islam, terlebih dengan kondisi saat ini yaitu
terjadinya kemerosotan moral baik dilingkungan masyarakat ataupun dilingkungan
sekolah. Menurut Abuddin Nata (2005: 181) mempelajari Islam dengan segala
aspeknya tidak cukup hanya dengan menggunakan metode ilmiah. Begitu juga Islam
tidak dapat hanya dipahami dengan metode doktriner. Kedua metode tersebut harus
dipadukan sehingga kita dapat mempelajari dan memahami Islam secara utuh dan komprehensif.
Disiplin ilmu umum beserta metode-metode dasar, prinsip, problema, tujuan,
hasil-hasil pencapaian dan keterbatasannya harus dikaitkan kepada khazanah
Islam.
4. Pada
buku ini belum menyinggung factor-faktor penyebab tidak terciptanya suasana religius
di sekolah. Seperti apa yang disampaikan oleh Abuddin Nata (2003: 191 ) dalam
buku Manajemen Pendidikan, bahwa salah satu sebab timbulnya perilaku menyimpang
dikalangan remaja ialah longgarnya pegangan terhadap agama sudah menjadi
tragedi dari dunia maju, dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan ilmu
pengetahuan, sehingga keyakinan beragama mulai terdesak.
BAB
III
PENUTUP
Buku-buku Pendidikan Islam selama ini
lebih bersifat teoritis dan banyak membicarakan hal-hal yang menyangkut fundasionalis
filosofis, karena kegiatan pendidikan hanya concern terhadap
persoalan-persoalan operasional.
Diantara kelemahan dari kajian pendidikan Islam yang selama ini tertulis
dalam literatur-literatur kependidikan Islam adalah mereka kaya konsep fundasional
atau kajian teoritis, tetapi miskin dimensi operasioanal atau praktisnya, atau
sebaliknya kaya praktik/operasional, tetapi lepas dari konsep fundasional atau
teoritiknya.
Kehadiran buku Paradigma Pendidikan
Islam ini, berupaya untuk mengkaji keduanya sekaligus, yang difokuskan pada
pandangan mendasar tentang persoalan Pendidikan Islam dan pengembangannya dalam
konteks desain pembelajaran Pendidikan Islam.Kajian dalam buku ini diharapkan
dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi pengembangan pemikiran Pendidikan
Islam yang sekaligus diaktualisasikan dalam bentuk perencanaan atau desain
pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Muhaimin, 2002, Paradigma Pendidikan
Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Nata Abuddin, 2005, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
Nata Abuddin, 2003,Manajemen Pendidikan, Jakarta: Kencana
Qomar
Mujammil, 2007,Manajemen Pendidikan Islam,
Jakarta : Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar