Makalah Hadits Hasan
Oleh: Imam Fathollah
Pascasarjana STAIN Jember Ak. IX
Dosen Pengampu : Dr. H. Kasman, M.Fil.I
Makul : STUDI HADITS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kata hadits seringkali disebut juga dengan istilah
khabar atau sunnah. Hadits atau Sunnah merupakan sumber hukum Islam kedua setelah
Alqur’an. Keduanya
merupakan pedoman hidup yang
mengatur segala tingkah laku dan perbuatan
manusia. Al-Qur’an mempunyai
kedudukan sebagai suatu yang mutlak kebenaran beritanya, sedangkan hadits Nabi belum dapat
dipertanggungjawabkan periwayatannya,
apakah berasal dari Nabi atau tidak.
Hadits mempunyai fungsi penting dalam menjelaskan
setiap ayat-ayat Alqur’an, baik ayat Muhkamat maupun Mutasyabihat.
Sehingga hadits sangat perlu untuk dijadikan sebagai sandaran umat Islam dalam mempelajari / mendalami ajaran-ajaran agama Islam.
Dalam
hadits ada yang dalam periwatannya
telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk diterimanya sebagai sebuah hadits
atau yang dikenal dengan hadits maqbul (diterima). Namun disisi lain
terdapat hadits-hadits yang dalam periwayatannya tidak memenuhi
kriteria-kriteria tertentu atau lebih dikenal dengan istilah hadits mardud
(ditolak) atau bahkan ada yang palsu (maudhu’), hal ini dihasilkan setelah melakukan
pemyelidikan, pemeriksaan dan penelitian yang seksama tentang para rawinya
serta segi-segi lainnya untuk menentukan diterima atau ditolaknya hadits
tersebut.
Hal ini terjadi disebabkan keragaman
orang yang menerima maupun meriwayatkan hadits Rasulullah. Berbagai macam
hadits yang menimbulkan kontraversi dari berbagai kalangan. berbagai analisis
atas kesahihan sebuah hadits baik dari segi putusnya Sanad dan tumpang
tindihnya makna dari Matan pun bermunculan untuk menentukan kualitas
sebuah hadits.
Dilihat
dari segi kualitas hadits, maka hadits bisa dikelompokkan menjadi tiga yaitu: hadits
shahih, hadits hasan dan hadits dha’if. Namun dalam makalah ini, hanya akan
membahas hadits hasan.
B. Permasalahan
Terdapat berbagai permasalahan yang akan dikupas dalam makalah ini yaitu:
1. Pengertian Hadits Hasan
2. Sebab-sebab timbulnya Hadits Hasan
3. Klasifikasi Hadits Hasan
4. Kedudukan Hadits Hasan
5. Istilah-istilah yang semakna
hadits hasan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits Hasan
Hasan menurut bahasa artinya baik dan bagus,[1] Sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu[2].
Sedangkan
secara istilah, hadits hasan didefinisikan secara beragam oleh ahli
Hadits, sebagai berikut :
1. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani
وَخبرالأحاد بنقل عدل
تام الضبط متصل السند غير معلل ولا شا ذ
Khobar ahad yang dinukil oleh orang yang adil,
kurang sempurna hapalannya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz.[3]
.
2.
Menurut
Imam at-Tirmidzi
كل حديث يروى لا يكو ن فى إسنا ده من يّتّهم با
لكذب ولا يكو ن الحديث شا دّا و يروى من غير وجه نحو ذالك
Tiap-tiap hadits yang pada sanadnya tidak terdapat
perawi yang tertuduh dusta, pada matannya tidak terdapat keganjalan, dan
hadits itu diriwayatkan tidak hanya dengan satu jalan (mempunyai banyak jalan)
yang sepadan dengannya
Definisi
hadits hasan menurut at-Tirmidzi ini terlihat kurang jelas, sebab bisa jadi
hadits yang perawinya tidak tertuduh dusta dan juga hadits gharib,
sekalipun pada hakikatnya berstatus hasan. Tidak
dapat dirumuskan dalam definisi ini sebab dalam definisi tersebut disyariatkan
tidak hanya melalui satu jalan periwayatan (mempunyai banyak jalan
periwayatan). Meskipun demikian, melalui definisi ini at-Tirmidzi tidak
bermaksud menyamakan hadits hasan dengan hadits shahih,
sebab justru at-Tirmidzilah yang mula-mula memunculkan istilah hadits hasan ini.[4]
3.
Menurut
At-Thibi
مسند من قرب من درجة الثقة أو مرسل ثقة وروي كلا هما من
غير وجه وسلم من شدو ذٍ ا ولا علة .
Hadits musnad ( muttasil dan marfu’ ) yang
sanad-sanadnya mendekati derajat tsiqah. Atau hadits mursal yang sanad-sanadnya
tsiqah, tetapi pada keduanya ada perawi lain, dan hadits itu terhindar dari
syadz ( kejanggalan ) dan illat (kekacauan).[5]
Dengan kata lain hadits hasan
adalah :
هو ما ا تصل سنده بنقل العدل الذى قلَّ ضبطه و خلا من الشّذوذ والعلة .
Hadits hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit ke-dhabit-annya, tidak ada
keganjilan (syadz) dan tidak ada illat.[6]
Atas dasar pengertian hadits hasan tersebut, maka
syarat-syarat hadits hasan itu ada lima macam, yaitu:
1. Muttasil sanadnya
2. Rawinya adil
3. Rawinya dhabith
Kedhabitan
rawi disini tingkatannya dibawah kedhabitan rawi hadits shahih, yakni kurang
sempurna kedhabitannya.
4. Tidak temasuk hadits syadz
5. Tidak terdapat illat [cacat][7]
B. Sebab-sebab timbulnya Hadits Hasan
Sebelumnya butuh kami ingatkan bahwa istilah
hadits ‘hasan’ di kalangan ulama mutaqaddimin (terdahulu) tidaklah
dikenal. Di kalangan mereka, hadits hanya terbagi menjadi dua: Shahih dan
dha’if. Ini dibuktikan dengan karya tulis para ulama terdahulu, dimana mereka
menamakan kitabnya dengan nama Ash-Shahih, akan tetapi di dalamnya mereka
menyebutkan hadits yang hasan. Misalnya Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim,
walaupun keduanya disifati dengan nama ‘shahih’, akan tetapi kenyataannya di
dalam keduanya terdapat tidak sedikit hadits-hadits yang hasan.
Belakangan, para ulama ahli hadits mulai
menyendirikan jenis hadits hasan ini dan membedakannya dari hadits shahih. Akan
tetapi mereka kemudian berbeda pendapat dalam memberikan batasan dan
definisinya, bahkan hingga mencapai 16 pendapat. Adanya banyak pendapat dalam
definisinya ini adalah hal yang wajar, mengingat hadits hasan ini berada di
antara shahih dan dha’if dan istilah ‘hasan’ ini belum dikenal di kalangan
ulama mutaqaddimin . Akan tetapi walaupun demikian, tetap sebagian ulama
belakangan merajihkan dan memilih satu pendapat terkuat mengenai definisi
hadits hasan, dan itu yang insya Allah akan kami sebutkan di bawah.[8]
Ketika
berbicara mengenai sejarah pengklasifikasian kualitas hadits mayoritas
para ahli hadits muta’akhirin didalam kitab-kitab ilmu hadits karangan mereka
berpendapat bahwa sebelum masa Imam Abu Musa At-Tirmidzi, istilah hadits hasan
sebagai salah satu bagian dari pengklasifikasian kualitas hadits belum dikenal
dikalangan para ulama hadits.
Pada
masa itu hadits hanya diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu hadits sahih
dan hadits dhaif. Adapun setelah masa beliau terjadi perkembangan dalam
pengklasifiakasian hadits, pada masa ini hadits bila ditinjau dari segi
kualitasnya diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu hadits sahih,
hadits hasan, dan hadits dha’if. Dan beliaulah yang pertama kali memperkenalkan
hal itu. Pendapat ini disandarkan kepada pendirian imam Taqiyuddin Ibnu
Taimiyah didalam kitab majmu fatawa, beliau menjelaskan:
Orang
yang pertama kali memperkenalkan bahwa hadits terbagi atas pembagian sahih ,
hasan dan dha’if adalah abu Isa At- Tirmidzi dan pembagian ini tidak dikenal
dari seorang pun pada masa-masa sebelumnya. Adapun sebelum masa at-Tirmidzi
dikalangan ulama hadits pembagian tiga kualitas hadits ini tidak dikenal oleh
mereka hanya membagi hadits itu menjadi sahih dan dhaif (Majmu Fatawa Syaikh
Al-Islam Ibnu Taimiyah XVII: 23 & 25).
Menurut
Imam Ibnu Taimiyyah hadits daif pada masa sebelum Imam At-Tarmidzi itu
terbagi menjadi dua macam.
1.
Hadits daif dengan kedaifan yang tidak terhalang untuk
mengamalkannya dan dhaif ini menyerupai Hasan dalam istilah At-Tirmidzi.
2.
Hadits da’if dengan kedaifan yang wajib ditinggalkan (tidak
boleh diamalkan). Karena itu pada masa sebelum imam at-tirmidzi, hadits hasan
dikatergorikan kedalam hadits da’if, namun dengan keda’ifan yang tidak terlalu
parah hingga layak untuk diamalkan. Itulah sebabnya dikalangan para ulama ada
yang berpendapat bahwa hadits da’if boleh diamalkan pada hal-hal yang tidak
bersifat esensial, diataranya seperti sirah, tarikh, fadha’ilul amal dan
mengamalkan hadits itu lebih mereka sukai dari pada pendapat seseorang (Ra’yu).
Menurut imam ibnu Taimiyah hadits hasan yang dimaksud oleh para ulama salaf tersebut
adalah hadits yang menempati derajat hasan pada istilah tirmidzi.
Anggapan bahwa
Imam At-Tirmidzi adalah orang paling pertama yang memperkenalkan istilah
hadits Hasan yang
diusung oleh Imam
Ibnu Taimiyyah ini, diikuti pula oleh muridnya, Al-Hafid Syamsyuddin
Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi di dalam kitabnya, Al-Muqidhah fi
Ilmi Musthalah Al-Hadits dan sebagian besar ulama besar hadits.
Ibnu Taimiyyah ini, diikuti pula oleh muridnya, Al-Hafid Syamsyuddin
Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi di dalam kitabnya, Al-Muqidhah fi
Ilmi Musthalah Al-Hadits dan sebagian besar ulama besar hadits.
Namun pendapat Imam Ibnu Taimiyyah ini ditolak oleh
Abdul Fatah Abu Guddah pada Tahqiq-nya dalam kitab Al-Muqidhah
fi Ilmi Musthalah Al-Hadits ia
berkata:
Dan yang
benar, sesungguhnya penggunaan istilah Hasan sudah ada dan dikenal
sebelum masa Imam At-Tirmidzi dalam waktu yang lama”.(Al-Muqiidhah fi Ilmi
Musthalah Al-Hadits, 1982: 27).
Pendapat Abdul Fatah Abu Guddah dalam mengkritisi
pendapat Imam Ibnu Taimiyyah tadi, masih bisa dikatakan berupa sebuah
hipotesis yang harus dibuktikan untuk menjadi sebuah kesimpulan, dengan mencari
bukti-bukti yang sekiranya layak dijadikan landasan pendapat tersebut.
Dalam hal ini Ibnu Shalah juga memberikan komentar,
yang pada akhirnya bisa dijadikan sebagai sebuah landasan dan sekaligus
memperkuat pendapat Abdul Fatah Abu Gudah.
Bahwa
ditemukan istilah Hasan pada beberapa tempat yang berbeda dari
perbincangan sebagian guru-gurunya (Imam At-Tirmidzi) dan generasi
sebelumnya seperti Ahmad bin Hanbal, Al-Bukhari, dan selain
keduanya”.
(Muqaddimah Ibnu Shalah fi Ulum Al-Hadits,:1 18).[9]
(Muqaddimah Ibnu Shalah fi Ulum Al-Hadits,:1 18).[9]
مقدمة بن الصلاح في مصطلح الحديث - (1 / 18)
كتاب أبي عيسى الترمذي رحمه الله
أص ل في معرفة الحديث الحسن وهوالذى نوه باسمه وأكثر من ذكره في
جامعه ويوجد في متفرقات من كلام بعض مشايخه والطبقةالتى قبله كاحمد بن حنبل
والبخاري وغيرها
Berdasarkan keterangan dari Ibnu Sholah diatas, dapat
diambil sebuah kesimpulan bahwa pemakaian istilah hasan dalam
mengklasifikasikan suatu hadits berdasarkan kualitasnya, sudah dilakukan oleh
guru-guru imam turmudzi dan generasi sebelumnya walaupun tidak memasyarakat.
Dengan demikian terbantahlah pendapat imam Ibnu Taimiyah yang mengatakan bahwa Imam
Tirmidzi sebagai orang yang memperkenalkan istilah hadits hasan.
C.
Klasifikasi Hadits Hasan
1. Hadits Hasan Li Dzatihii
Hadits
hasan li dzatihii
adalah hadits yang memenuhi segala syarat-syarat hadits
hasan,[10]
hadits
hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala kriteria dan persyaratan
yang ditentukan.[11]
Sebuah
hadits dikategorikan sebagai hasan li dzatihi karena jalur
periwayatannya, hanya melalui satu jalur periwayatan saja. Sementara hadits
hasan pada umumnya, ada kemungkinan melalui jalur riwayat yang lebih dari satu.
Atau didukung dengan riwayat yang lainnya. Bila hadits hasan ini jumlah jalur
riwayatnya hanya satu, maka hadits hasan itu disebut dengan hadits hasan li dzatihi.
Tetapi jika jumlahnya banyak, maka ia akan saling menguatkan dan akan naik
derajatnya menjadi hadits shahih li ghairihi.[12]
Contoh hadits
hasan lidzatihii
:
Diriwayatkan oleh At-Tirmizi,
dia berkata: telah bercerita kepada kami Qutaibah, telah bercerita kepada kami
Ja’far bin Sulaiman Ad-Dhab’I, dari Abi Imran Al-Jauni, dari Abu Bakar bin Abu
Musa Al-Asy’ari, dia berkata,” Aku telah mendengar ayahku berkata dihadapan
musuh, Rasulullah bersabda, :
حدثنا
قتيبة حدثنا جعفر بن سليما ن الضبعيٌّ عن ابي عمران الجو نيّ عن ابي بكر بن ابي
موسى الا شعرىّ قال سمعت أبي بحضر ة العد وِّ يقول قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم إنّ ابواب الجنّة تحت ظلال السيوف
“......dari
Abu Bakar bin Abu Musa al-Asy’ari, (berkata), saya mendengar ayahku ketika
berada dihadapan musuh berkata, Rasulullah saw. Bersabda: ‘sesungguhnya
pintu-pintu surga berada dibawah bayang-bayang pedang’.” (HR. al-Tirmidzi)
Empat perawi hadits tersebut
adalah tsiqoh kecuali Ja’far bin Sulaiman ad-Dhab’I, sehingga hadits ini
sebagai hadits hasan.[13]
2. Hadits Hasan Li Gahirihi
Hadits
hasan li ghairihi adalah hadits dhaif
yang bukan dikarenakan perawinya pelupa, banyak salah dan orang fasik, yang mempunyai
mutabi’ dan syahid,[14] hadits yang
dhaif dikuatkan dengan beberapa jalan, dan sebab kedhaifannya bukan karena
kefasikan perawi (yang keluar dari jalan kebenaran) atau kedustaannya.
Seperti satu hadits yang dalam sanadnya ada perawi yang mastur (tidak
diketahui keadaannya), atau rawi yang kurang kuat hafalannya, atau rawi yang
tercampur hafalannya karena tuanya, atau rawi yang pernah keliru dalam
meriwayatkan, lalu dikuatkan dengan jalan lain yang sebanding dengannya, atau
yang lebih kuat darinya. Hadits ini derjatnya lebih rendah dari pada hasan lidzatihii dan dapat
dijadikan hujjah.[15]
Contoh
hadits hasan li ghairihi
Seperti
hadits yang diriwayatkan oleh Al-Turmudzi dan dia menilainya hasan, dari
riwayat Syu’bah dari ‘Asim bin Ubaidillah dari Abdullah bin Amir bin Rabi’ah
dari ayahnya, berbunyi sebagai berikut:
حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ ، قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ
بْنَ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ ، عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي
فَزَارَةَ تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" أَرَضِيتِ مِنْ نَفْسِكِ وَمَالِكِ بِنَعْلَيْنِ
؟" قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ : فَأَجَازَهُ .(رواه
الترمذي)
Diriwayatkan
oleh at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah
bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya bahwasanya seorang perempuan dari
bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal…”
Al-Turmudzi mengomentari bahwa hadits itu terdapat riwayat-riwayat lain,
yaitu dari Umar, Abu Hurairah, Aisyah dan Abu Hadrad. Dalam hal ini Al-Turmudzi
menilai hadits tersebut hasan, karena meskipun ‘Asim dalam sanad hadits yang
diriwayatkannya itu dhaif karena jelek hafalannya, hadits ini didukung oleh
adanya riwayat-riwayat lain.[16]
D.
Kedudukan Hadits Hasan
Hadits
hasan sama seperti hadits shahih dalam pemakaiannya sebagai hujjah, walaupun kekuatannya lebih rendah dibawah hadits shahih.[17]
Hanya saja, jika terjadi pertentangan antara hadits shahih dengan hadits hasan,
maka harus mendahulukan hadits shahih, karena tingkat kualitas hadits hasan
berada dibawah hadits shahih. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari dimensi
kesempurnaan kedhabitan rawi-rawi hadits hasan, yang tidak seoptimal
kesempurnaan kedhabithan rawi-rawi hadits shahih.[18]
Kebanyakan
ulama ahli hadits dan fuqoha bersepakat untuk menggunakan hadits shahih dan
hadits hasan sebagai hujjah. Disamping itu, ada ulama yang mensyaratkan bahwa
hadits hasan dapat digunakan sebagai hujjah,
bilamana memenuhi sifat-sifat yang
diterima. Pendapat terakhir ini memerlukan peninjauan yang seksama. Sebab,
sifat-sifat yang dapat diterima itu ada yang tinggi, menengah dan rendah.
Hadits yang sifat dapat diterimanya tinggi dan menengah adalah hadits shahih,
sedangkan hadits yang sifat dapat diterimanya rendah adalah hadits hasan.
Hadits-hadits
yang mempunyai sifat dapat diterima sebagai hujjah
disebut hadits maqbul, dan hadits
yang tidak mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima disebut hadits mardud.
yang
termasuk hadits maqbul adalah:
1. Hadits shahih, baik shahih li dzatihi maupun shahih li ghairihi
2. Hadits hasan, baik hasan li dzatihi maupun hasan li ghairihi
Yang
termasuk hadits mardud adalah segala macam hadits dhaif. Hadits
mardud tidak dapat diterima sebagai
hujjah karena terdapat sifat-sifat tercela pada rawi-rawinya atau pada
sanadnya.[19]
Ringkasnya,
hadits yang dapat diterima sebagai hujjah atau dalam istimbath [konklusi] hukum
hanyalah hadits shahih dan hasan. Hadits
dhaif tidak dapat digunakan baik sebagai hujjah
maupun istimbath hukum.[20]
E.
Kitab-kitab yang mengandung
Hadits hasan
Para
ulama belum menyusun kitab khusus tentang hadits-hadits hasan secara terpisah
sebagaimana mereka melakukannya dalam hadits shahih, tetapi hadits hasan banyak
kita dapatkan pada sebagian kitab, diantaranya:
1. Jami’ At-Tirmidzi, dikenal
dengan Sunan At-Tirmidzi, merupakan sumber untuk mengetahui hadits hasan.
2. Sunan Abi Dawud
3. Sunan Ad-Daruqutni[21]
F.
Istilah-istilah yang semakna
hadits hasan
Istilah-istilah yang digunakan
oleh para ahli hadits dalam menyebut hadits maqbul ialah:
1. Jayyid
2. Qowiy
3. Shalih
4. Tsabit
5. Maqbul
6. Mujawad[22]
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan latar belakang dan pembahasan diatas ,
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa hadits hasan adalah
hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit
ke-dhabit-annya, tidak ada keganjilan (syadz) dan tidak ada illat.
2.
Macam-macam hadits hasan adalah :
a)
Hadits Hasan Li Dzatihi
b)
Hadits Hasan Li Ghairih
3.
Kriteria
Hadits hasan :
a)
Sanad
Hadits harus bersambung.
b)
Perawinya
adil
c)
Perawinya
mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang
dimiliki oleh perawi Hadits shahih
d)
Hadits
yang diriwayatkan tersebut tidak syadz
e)
Hadits
yang diriwayatkan terhindar dari illat
4.
Hadits hasan sama seperti hadits shahih dalam
pemakaiannya dapat dijadikan sebagai
hujjah, walaupun kekuatannya lebih rendah dibawah hadits shahih.
5.
Kitab-kitab Yang Memuat Hadits Hasan
a)
Sunan
at-Tirmidzy
b)
Sunan
Abu Daud
c)
Sunan
ad-Dar Quthny
DAFTAR PUSTAKA
Alawi Al-Maliki,Muhammad,
2009, Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli
Al-Haditsi Al-Syarifi, terj. Adnan Qohar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Al-Qattan, Syaikh Manna, 2005, Pengantar
Studi Ilmu Hadits, terj.
Mifdhol Abdurrahman, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar
Ismail,
Muhammad, 2002, prinsip-prinsip pemahaman Al-Qur’an dan hadits, Jakarta:Khairul
Bayaan
Majid Khon, Abdul, 2009, Ulumul Hadits, Jakarta: Amzah
Rifa’I, Zuhdi, 2008, Mengenal Ilmu Hadits, Jakarta:
al-Ghuraba
Sahrani, Sohari, 2002, Ulumul
Hadits, Bogor:
Ghalia Indonesia
Solahuddin,M:Agus
Suyadi, 2011, Ulumul Hadits, Bandung,
Pustaka Setia
[1] Syaikh Manna’ Al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, terj. Mifdhol
Abdurrahman (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar),
2005, 121
[7] Muhammad Alawi Al-Maliki, Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi, terj. Adnan
Qohar, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), 59
[16] Muhammad Alawi Al-Maliki, Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi, terj. Adnan
Qohar,…63
[18] Muhammad Alawi Al-Maliki, Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi, terj. Adnan
Qohar,…60
[20] Muhammad Ismail, Prinsip-prinsip Pemahaman Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta:Khairul
Bayaan, 2002), 145
[22] Muhammad Alawi Al-Maliki, Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Hadisi
Al-Syarifi, terj. Adnan Qohar,…60
Tidak ada komentar:
Posting Komentar