Makalah
TAFSIR BI AL-RA'Y
Dosen Pengampu : Dr. H. Aminullah Elhady,
Oleh: Imam Fathollah
PASCASARJANA STAIN JEMBER AK. IX
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Penggalian
makna yang tersimpan di dalam setiap ayat Al-Qur’an harus dilakukan dengan
usaha penafsiran yang mendalam dengan tetap mengacu pada syarat-syarat yang harus dipenuhi
seorang mufassir dan tidak melenceng dari ajaran Islam yang sebenarnya. Al-Qur’an
secara teks memang tidak berubah, tetapi penanfsiran atas teks, selalu berubah,
sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Karenanya, Al-Qur’an selalu membuka diri
untuk dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan (ditafsirkan) dengan
berbagai alat, metode dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode dan tafsir diajukan
sebagai jalan untuk membedah makna terdalam dari Al-Qur’an itu. Sehingga Al-Qur’an
seolah menantang dirinya untuk dibedah.
Banyak redaksi ayat-ayat Al-Qur’an tidak dapat dijangkau maksudnya secara
pasti, Hal ini kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dari dahulu
sampai sekarang para ulama masih semangat untuk terus menggali dan mengkaji
Al-qur’an. Masih ditemukan koleksi karangan kitab –kitab tafsir baik yang sudah
di terbitkan atau yang belum diterbitkan. Dalam hal Al-Qur’an, para sahabat
Nabi sekalipun, yang secara umum menyaksikan turunya wahyu, mengetahui
konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosa
katanya, tidak jarang berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman
mereka tentang maksud firman-firman Allah yang mereka dengar atau mereka baca.
Kemampuan setiap orang dalam memahami Al-Qur’an dan ungkapan Al-Qur’an tidaklah
sama. Sehingga terjadinya perbedaan
daya nalar diantara mereka ini adalah suatu hal yang sangat mungkin terjadi.
Itulah sebabnya seorang dalam meraih kebenaran teks dan konteks sebuah ayat
membutuhkan ilmu-ilmu pendukung lainnya.
Dengan ilmu tersebut, seseorang bisa lebih mudah mengkaji dan memahami makna-makna
Al-Qur’an. Apalagi mengenai ayat-ayat Al-Qur’an yang berkategori mutasyabih yang tentu rumit dan pelik.
Kenyataan
tersebut melahirkan berbagai metode yang digunakan dalam menjelaskan suatu
redaksi. Untuk menafsirinya tergantung kepada kecenderungan para mufassir,
serta latar belakang keilmuan dan sudut pandang yang digunakan. Para ulama
telah sepakat berkaitan dengan pengklasifikasian tafsir Al-Qur’an dilihat dari
sumber penafsirannya, mereka membagi dalam tiga kategori; yaitu, tafsir bi
al-ma’tsūr (tafsir bi al-riwāyah), tafsir bi al-ra’y (tafsir bi al-dirāyah),
dan tafsir bi al-iqtirāni (campuran antara nas dan akal pikiran manusia).
Dari
ketiga macam tafsir di atas yang menjadi bahan perdebatan antar para ulama
tafsir adalah tafsir bi al-ra’y. Banyak terdapat perbedaan pendapat
diantara mereka dalam pembolehan menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan akal
pikiran karena dikhawatirkan, menurut mereka yang anti tafsir bi al-ra’y,
hanya ditafsirkan secara subjektif untuk mendukung kepentingan pribadi
atau kelompok mereka.
Untuk
kepentingan tersebut, maka dalam makalah ini akan didiskripsikan salah satu
metode yang digunakan untuk lebih mudahnya memahami Al-Qur’an dengan metode
Al-Tafsir bi- al-ra’y.
B.
Permasalahan
Terdapat berbagai permasalahan yang ingin dikupas
dalam makalah ini yaitu :
a.
Pengertian Tafsir bi al-ra’y
b.
Sebab-sebab timbulnya Tafsir bi al-ra’y
c.
Pendapat ulama tentang Tafsir bi al-ra’y
d.
Macam-macam dan contoh Tafsir bi al-ra’y
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Tafsir Bi Al-Ra’y
Kata Al-ra’yu berasal dari akar kata راي ج- اراء. Memiliki kata jamak ārā’un atau ar’ā’un
yang bisa berarti berpendapat.[1] Sedangkan secara istilah bisa didefinisikan sebagaimana pendapat
beberapa ulama yaitu :
1.
Tafsir Bi Al-Ra’y ialah tafsir yang didalam menjelaskan maknanya hanya
berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan yang didasarkan pada ra’yu
semata. Golongan ini telah menulis sejumlah kitab tafsir menurut pokok-pokok
mazhab mereka, seperti tafsir (karya) Abdurrahman bin Kaisan al-asam,
al-Juba’I, Abdul Jabbar, Ar-Rummani,
Zamakhsyari dan lain sebagainya.[2]
2.
Tafsir Bi Al-Ra’y ialah Tafsir berdasarkan ijtihad
mufassir; pendapat atau ijtihadnya yang didasarkan atas sarana ijtihad.[3]
3.
Muhammad Ali Ash
Shaabuniy, ialah ijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil yang shohih, kaidah
yang murni dan tepat, bisa diikuti serta sewajarnya digunakan oleh orang yang
hendak mendalami tafsir Al-Qur’an atau
mendalami pengertiannya.5
Dari beberapa pendapat diatas dapat
penulis simpulkan bahwa tafsir bi al-ra’y adalah suatu metode tafsir
dengan menggunakan kekuatan akal pikiran yang sudah memenuhi syarat dan
memiliki pengakuan dari para ulama untuk menjadi seorang mufassir, namun
penafsirannya harus tetap sejalan dengan hukum syari’ah tanpa ada pertentangan.
Tidaklah
yang dimaksud dengan ra’yu ini dengan menafsirkan Al-Quran berdasarkan kata
hati atau kehendaknya. Al- Qurtubi berkata “barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an
berdasarkan imajinasinya (yang tepat menurut pandangannya tanpa berdasarkan
kaidah-kaidah) maka ia adalah orang yang keliru dan tercela.”
Dalam sebuah
hadis diriwayatkan :
من
كذّب عليّ متعمدا فليتبوُأ مقعده من النار, ومن قال فى القران برأيه فليتبوّ أ
مقعده من النار. ( رواه التر مذ )
Artinya
:
“Barang siapa
mendustakan secara sengaja niscaya ia harus bersedia menepatkan dirinya di neraka. Dan barang
siapa yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan Ra’yu atau pendapatnya maka
hendaklah ia bersedia menepatkan dirinya di neraka .”( H.R. Turmuzi dan Ibnu
Abbas )
Dan sabdanya
pula
من قال فى القران برأ يه فاصاب فقد اخطأ
Artinya
“Dan barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an
dengan Ra’yunya dan kebetulan tepat, niscaya ia telah melakukan kesalahan.”
(H.R. Abi Dawud dari Jundab)
Imam
Al-Qurtuby, mengatakan bahwasannya hadits Ibnu Abbas tersebut memiliki dua
penafsiran:
Pertama : Barang siapa yang berpendapat dalam
persoalan Al-Qur’an yang pelik dengan tidak berdasarkan pengetahuan dari mazhab
sahabat atau tabi’in berarti menentang Allah
Kedua : Barang
siapa yang mengatakan tentang Al-Qur’an suatu pendapat, sedang ia mengetahui
bahwa yang benar adalah pendapat yang lain, maka ia hanya bersedia menempatkan
diri di neraka.[4]
B.
Sebab-Sebab Timbulnya Tafsir Bi Al-Ra’y
Pertama
kali tafsir Al-Qur’an disampaikan secara syafāhiy (wicara, dari mulut ke
mulut). Kemudian setelah dimulai pembukuan kitab-kitab kumpulan hadis, maka
tafsir Al-Qur’an dibukukan bersama-sama dengan hadis, dan merupakan satu dari
beberapa bab yang terkandung dalam kitab hadis. Pada masa itu belum ada
penafsiran ayat per ayat, surat per surat, dari permulaan mushaf sampai dengan
akhir, dan belum ada penafsiran per judul pembahasan.
Pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal pemerintahan
Bani Abbasiyah, di tengah-tengah masa pentadwinan cabang-cabang ilmu
pengetahuan, tafsir Al-Qur’an mulai memisahkan diri dari hadis, hidup mandiri
secara utuh dan lengkap. Dalam artian, tiap-tiap ayat mendapat penafsiran,
secara tertib menurut urutan mushhaf. Penafsiran Al-Qur’an pada masa-masa
pertama memakai cara naqli, yaitu yang terkenal dengan istilah al-manhaj
al-tafsīr bi al-ma’tsūr. Setelah
itu para ahli ilmu menafsirkan Al-Qur’an menurut keahlian mereka masing-masing.
Kemudian setelah lahirnya sekte-sekte aqidah didukung dengan semakin
berkembangnya ilmu-ilmu kebahasaan dibuktikan dengan dijadikan ilmu tersebut
sebagai disiplin ilmu tersendiri, bermuncullah penta’wilan terhadap ayat-ayat
mutasyabihat, untuk menopang paham mereka masing-masing, meskipun sebenarnya
bibit-bibit ta’wil Al-Qur’an sudah dimulai oleh beberapa sahabat, seperti ‘Ali
bin Abi Ṭālib, ‘Abdullāh bin Mas’ūd, dan ‘Abdullāh bin ‘Abbās ra. Kemudian
setelah itu, melalui Mu’tazilah, terjadilah perluasan tafsir bi al-ra’yi,
sehingga tidak terjadi pertentangan antara nash Al-Qur’an dan akal pikiran,
seperti kitab tafsir al-Kashshaf oleh al-Zamakhshāriy.[5]
Diantara mereka
ada yang menulis tafsirnya dengan ungkapan yang indah dan menyusupkan
madzhabnya ke dalam untaian kalimat yang dapat memperdaya banyak orang
sebagaimana dilakukan penulis Tafsir al-kassyaf dalam menyisipkan paham ke-mu’tazila-annya.[6]
C. Pendapat Ulama Tentang Tafsir Bi Al-Ra’y
Setelah membahas sebab-sebab timbulnya tafsir bi al-ra’y, kami akan menjelaskan pendapat
ulama tentang boleh tidaknya menafsiri Al-Qur’an bi al-ra’y beserta dengan
alasannya. Sebagian ulama mengatakan “
yang dimaksud dengan ra’yu disini adalah ijtihad”. Karena itu, tafsir ra’yu
berarti tafsir Al-Qur’an berdasarkan ijtihad setelah mufassir mengetahui
kata-kata dan uslub orang arab dalam berbicara, serta mengetahui lafal-lafal
bahasa arab dan pengertiannya.
Para ulama berbeda
pendapat tentang kebolehan menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu yang terbagi
dalam dua pendapat :
Pertama : tidak diperbolehkan menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu karena
tafsir ini harus bertitik tolak dari penyimakan. Itulah pendapat sebagian
ulama.
Kedua :
Pendapatkan yang membolehkan penafsiran dengan ra’yu dengan syarat harus
memenuhi persyaratan-persyaratan diatas. Ini adalah pendapat dari kebanyakan
ulama (jumhur ulama).
1. Alasan pendapat yang tidak memperbolehkan
Menafsirkan Qur’an
dengan ra’yu dam ijtihad semata tanpa ada dasar yang sahih adalah haram, tidak
boleh dilakukan.
Ulama yang tidak
membolehkan penafsiran dengan ra’yu menyebutkan beberapa alasan yang dapat kami ringkaskan
sebagai berikut :
a.
Tafsir dengan
ra’yu adalah membuat-buat (penafsiran) Al-Qur’an dengan tidak berdasarkan ilmu.
Karena itu tidak dibenarkan berdasarkan firman Allah :
Artinya :
Sesungguhnya
syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap
Allah apa yang tidak kamu ketahui. ( QS. Al-Bbaqoroh : 169)
b.
Sebuah
hadits tentang acaman terhadap orang
yang menafsirkan dengan ra’yu, yaitu sabda Rasul SAW :
من كذّب عليّ متعمدا
فليتبوُأ مقعده من نار, ومن قال فى القران برأيه فليتبوّ أ مقعده من النار. ( رواه
التر مذ )
Artinya :
“Barang
siapa mendustakan secara sengaja niscaya ia harus bersedia menepatkan dirinya
di neraka. Dan barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan Ra’yu atau
pendapatnya maka hendaklah ia bersedia menepatkan dirinya di neraka .”( H.R.
Turmuzi dan Ibnu Abbas ).
c.
Firman Allah SWT
:
Artinya
:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran,
agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka.
d.
Para sahabat dan
tabi’in merasa berdosa bila menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yunya, sehingga abu
Bakar Shiddiq mengatakan, “ langit manakah yang akan menaungiku dan bumi
manakah yang akan melindungiku? Bila aku menafsirkan Al-Qur’an menurut ra’yuku
atau aku katakan tentangnya sedang aku sendiri belum mengetahui betul.”
2. Alasan-alasan Pendapat yang Membolehkan Tafsir
dengan Ra’yu
Ulama’ yang membolehkan
tafsir dengan ra’yu adalah golongan jumhur yang menyebutkan beberapa alasan
yang dapat kami simpulkan sebagai berikut:
a.
Allah telah
manganjurkan kita untuk memperhatikan dan mengikuti Al-Qur’an, seperti dalam firman-Nya:
Artinya :
“ini adalah
sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka
memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai fikiran” (QS. Shaad:29).
Proses
tazakkur tidak akan bisa dilakukan tanpa mendalami rahasia-rahasia Al-Qur’an dan
berusaha untuk memahami artinya.
b.
Allah SWT. membagi manusia dalam dua klasifikasi;
kelompok awam dan kelompok ulama (cerdik cendikiawan). Allah memrintahkan
mengembalikan segala persoalan kepada ulama yang bisa mengambil dasar hokum,
firman Allah:
Artinya :
“Dan kalau
mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri[322] di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri).” (QS. An-Nisa’:83)
c.
Mereka
berpendapat, “bila penafsiran menurut ijtihad tidak dibenarkan maka ijtihad itu
sendiri niscaya tidak diperbolehkan. Akibatnya banyak hukum yang
terkatung-katung. Hal ini tidak mungkin karena bila seorang mujtahid berijtihad
dalam hukum syara’, ia akan mendapatkan pahala, baik benar maupun salah dalam
ijtihadnya.[7]
D. Pedoman Penafsiran dengan Ra’yu
Faktor yang
harus di penuhi dalam penafsiran secara ra’yu, terdiri atas empat pokok
sebagaimana yang kutip oleh Ali Ash-Shaabuuniy yang dikemukakan oleh Az-Zarkasi
dalam kitabnya Al-Burhan yang dikutip
oleh Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqan,
yaitu:
1.
Dikutip
dari Rasul dengan memperhatikan hadits-hadits yang daif dan maudhu’.
2.
Mengambil
dari pendapat sahabat dalam hal tafsir karena kedudukan mereka adalah marfu (sampai
kepada Nabi)
3.
Mengambil
berdasarkan bahasa secara mutlak karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab yang
jelas, dengan membuang alternatif yang tidak tepat dalam Bahasa Arab.
4.
Pengambilan
berdasarkan ucapan yang populer di kalangan orang Arab yang sesuai dengan
ketentuan syara’.[8]
E. Macam-Macam dan Contoh Tafsir Bi Al-Ra’y
1.
Macam-macam
Tafsir Bi Al-Ra’y
Berdasarkan pengertian di atas,
para mufassir membagi tafsir bi al-ra’y kepada dua macam, yaitu ra’y madhmumah
(yang tercela) dan ra’y mahmudah (yang terpuji). Yang pertama adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat
semata-mata, yang tidak didukung oleh ilmu alat. Hal ini yang dimaksud dalam
hadits Nabi SAW yang artinya : “barang siapa yang berbicara tentang Al-Qur’an menurut
pendapatnya sendiri, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka”
(HR. Tirmidzi).[9] Sebagian besar orang yang menafsirkan dengan
ra’yu adalah orang-orang yang mementingkan hawa nafsu dan bid’ah. Mereka
menganut faham-faham yang sesat, tidak ada alur periwayatan (rujukan) yang
jelas, tidak ada dalil yang kuat.[10]
Dimana ia menyatakan bahwa kalam Allah itu maksudnya ini … atau itu… tafsir
semacam ini adalah tafsi yang madzmum atau tafsir yang salah.[11]
Yang kedua adalah
pendapat yang didasarkan atas ilmu dan memenuhi kriteria atau syarat tafsir,
yaitu penguasaan ilmu bahasa Arab yang meliputi nahwu, sharraf, isytiqaq dan
balaghah. Selain itu, seorang mufassir juga dituntut menguasai ilmu qira’at,
ushuluddin, ushul fiqh, asbabun nuzul, qoss Al-qur’an, nasikh mansukh, dan lain
sebagainya.[12]
Kitab-kitab tafsir bi al-ra’y yang tergolong al-mahmūdah yang banyak
dikenal, antara lain, adalah:
a. Mafātih
al-Ghayb, oleh:
Fakhr al-Dīn al-Rāziy
b. Anwār
al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl, oleh Al-Baidawi
c. Madārik
al-Tanzīl wa aqā’iq al-Ta’wīl, oleh: Al-Nasāfi
d. Lubāb
al-Ta’wīl fi Ma’ān al-Tanzīl, oleh: Al-Khāzin
e. Al-Bahr
al-Mu’ī, oleh:
Abū Hayyān
f. Al-Tafsīr
al Jalālayn,
oleh: Jalāl al-Dīn Al-Mahalliy dan Jalāl al-Dīn Al-Suyūti
g. Gharā’ib
al-Qur’ān wa Raghā’ib al-Furqān, oleh: Al-Naisabūriy
h. Al-Sirāj
al-Munīr, oleh: Al
Khātib Al-Sharbiniy
i.
Irsyâd al-‘Aql as-Salîm, oleh: Abū al-Sa’ūd
j.
Rūh
al-Ma’āniy, oleh Al-Alūsiy
2.
Contoh
Tafsir Bi-Al-Ra’y
Ayat
Al-Quran yang jika ditafsirkan oleh orang yang bodoh akan menjadi rusak
maksudnya. Artinya
“Barang siapa yang buta (hatinya)di
dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan
lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan yang benar.” (Q.S. Al-Isra : 72)
Ia
menetapkan bahwa setiap orang yang buta adalah celaka dan rugi serta akan masuk
neraka jahanam. Padahal yang dimasud dengan buta di sini bukan mata, tetapi
buta hati berdasarkan alasan firman Allah.
Artinya
“…….. Karena sesungguhnya bukanlah
mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati dalam dada.” (Q.S.
Al- Hajj : 46)[13]
Ayat
lain yang dikemukakan oleh sebagian orang yang mengaku pandai tentang firman
Allah SWT.
Artinya:
“ (ingatlah)
suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya” (QS.
Al-Isra:71)
Mereka berkata bahwa maksud firman
Allah di atas adalah “ Allah Ta’ala memanggil manusia pada hari kiamat dengan nama ibunya karena
menutupi mereka.” Mereka menafsirkan kata “imam” dengan “ummahat” (ibu) dengan
berpendapat bahwa imam adalah jamak dari umum padahal menurut
ketentuan bahasa arab tidak demikian, karena jamak dari umum adalah ummahat
sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
Artinya :
“ibu-ibumu yang menyusui kamu…” (QS.
An-Nisa’)
Bentuk
jamak dari ummum itu bukanlah kata imam, karena itu, pengertian di atas menurut
bahasa dan syara’ btidaklah benar. Yang dimaksud imam disana adalah nabi yang
diikuti oleh ummatnya atau catatan amal.[14]
BAB
III
PENUTUP
Pada
saat ini rupanya sangat sulit untuk memahami fenomena-fenomena tanpa adanya
pemahaman fenomena yang terjadi dimasa-masa awal ketika Al-Qur’an diturunkan.
Jika kita rasakan sepertinya wahyu sangat terasa membumi ketika awal-awal Al-Qur’an
di turunkan dan rasul berserta sahabatnya masih hidup, karena rujukan dan
sumbernya dapat ditemukan langsung. Tetapi hal ini tidaklah menjadi suatu
peghalang dalam melihat dan menganalisis Al-Qur’an yang tentunya tetap berpijak
pada pemahaman yang pertama kali dicontohkan.
Pendapat
yang tidak membolehkan adanya penafsiran bi al-ra’y pernah dianggap sebagai
biang keladi adanya kejumudan berpikir dikalangan umat Islam, karena pendapat
tersebut memberikan rasa takut dan menyebabkan tidak mengkaji isi Al-Qur’an, masalah-masalah
lain yang menjadi bukti kuat kekalnya Al-Quran. Penggunaan tafsir logika tidak
dibenarkan jika dipakai dalam mengkaji kegiatan ubudiyah yang tidak mungkin
terjadi adanya perubahan. Penafsiran ini hanya bisa dipakai untuk
masalah-masalah sosial atau aspek kehidupan yang sangat dinamis, dan berkembang
pesat yang membutuhkan kajian sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an, menghasilkan
teori yang relevan dengan dinamika yang ada dengan berdasar pada kekalnya Al-Qur’an
dan jawaban terhadap masalah-masalah yang terjadi, hal ini merupakan
konsekuensi logisnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ar-Rumi, Fahd bin
Muhammad, 1996, Dirasat Fi ‘ulum
Al-Qur’an, terj. Cet.1, Yogyakarta: Titian Ilahi
Ash Shaabuniy, Muhammad
Ali, 1998, Study
Ilmu Al-Qur’an,
Alih Bahasa Aminuddin, Bandung:
Pustaka Setia
Al-Qattan, Manna’ Khalil, 2007, Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir As,
Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa
Yunus, Mahmud, Kamus
Arabi – Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsiran
Al-Qur’an
Yusuf,
Kadar M, 2009, Study Al-Qur’an, Jakarta:
AMZAH
[1]
Mahmud Yunus, Kamus Arabi – Indonesia. ( Jakarta:
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsiran Al-Qur’an), 136
[2] Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir As (Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa , 2007, 488
[3] Kadar M. Yusuf, Study Al-Qur’an, (Jakarta:
AMZAH,,2009), 140
5 Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study
Ilmu Al-Qur’an. Alih Bahasa Aminuddin (Bandung, Pustaka Setia, 1998) , 258
[4]
Muhammad Ali Ash Shaabuniy,
Study Ilmu Al-Qur’an. Alih Bahasa Aminuddin,…, 258
[5] Rosihan
Anwar, ‘Ulūm al-Qur’ān, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 220.
[6] Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir As,…488
[7] Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an.…,
279
[8] Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an.…,
264
[9] Kadar M. Yusuf, Study Al-Qur’an,…, 141
[10] Fahd bin Muhammad Ar-Rumi, Dirasat Fi ‘ulum
Al-Qur’an, terj. Cet.1, (Yogyakarta: Titian Ilahi, 1996)…,274
[11] Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an.…,
261
[12] Kadar M. Yusuf, Study Al-Qur’an,…, 141
[13]
Muhammad Ali Ash Shaabuniy,
Study Ilmu Al-Qur’an.…, 263
[14]
Muhammad Ali Ash Shaabuniy,
Study Ilmu Al-Qur’an.…, 261
kurang
BalasHapus